Mengenai Saya

Foto saya
Lamongan, jawa tmur
saya adalah seorang santri pondok pesantren sunan drajat, saya dari keluarga yang sangat sederhana,q ga'' pernah nyangka bisa mondok sampek sekolah hingga kuliah sekarang'' karena keyakinan aku dapatkan semua ini"

Selasa, 28 Juni 2011

 Prof.Dr.KH.Abdul Ghofur. & Ustadz Ali Noko








 Pernikahan putri KH Abdul Ghofur







Pen9uru5 Asram4 AL-Hanaf1

ini adalah pengurus asrama al-hanafi pondok poesantren sunan drajat 2010/2011....meski ga'' ganteng2 insyaalloh mereka memegang amanah dan menjalankan nya dengan baik dan sukses.semoga menjadi santri yang di ridloi.AMIN.

Ilmu Takhrij Hadist


BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG MAKALAH
Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang perlu dipelajari dan dikuasai. Sebab, di dalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui dari mana sumber Hadis itu berasal. Selain itu, di dalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad Hadis.
Mempelajari bagaimana cara men-takhrij hadis adalah merupakan tugas kita. Karena, Hadis merupakan sumber hukum kita yang ke-2 setelah Al-Qur’an. Karena Hadis merupakan sumber hukum yang kedua, mana kala kita hendak memakainya untuk melakukan sebuah bentuk pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk mengambil suatu hukum dalam permasalahan tertentu, hendaklah kita dapat mengetahui sanad, rawi dan sebagainya, agar jelas kuwalitas Hadis dan kebenaran Hadis tersebut. Dan dengan cara men-takhrij inilah kita dapat mengetahui kebenaran Hadis yang akan kita pakai.

2. RUMUSAN MAKALAH
Dalam kesempatan kali ini, kami sebagai pemakalah akan
membahas berdasarkan latar belakang di atas meliputi tentang :
1)Apakah Pengertian Takhrijul Hadis?
2)Bagaimana Tujuan dan Kegunaan Men-Takhrij Hadis?
3)Bagaimana Sejarah tentang Sepintas Takhrij?
4)Bagaimana Cara Mentakhrij Hadis?
3. TUJUAN MAKALAH
Sesuai dengan apa yang telah menjadi perumusan makalah yang telah penulis
kemukakan diatas, maka tujuan makalah ini adalah untk mengetahui pengertian takhrijul
 hadis, tujuan dan kegunaan men-takhrij hadis, sejarah tentang sepintas takhrij dan bagaimana
cara mentahrij suatu hadis
hadis, tujuan dan kegunaan men-takhrij hadis, sejarah tentang sepintas takhrij dan bagaimana
cara mentahrij suatu hadis,dan kitab kitab yang di gunakan untuk mentakhrij hadist.

























BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Takhrijul Hadis

Pengertian Menurut Bahasa

Kata takhrij dari kata kharraja, yukhariju, yang secara bahasa mempunyai bermacam-
macam arti. Menurut mahmud ath-Thahhan, asal kata Takhrij, ialah : ”Berkumpulnya dua
hal yang bertentangan dalam satu persoalan”
Dalam arti lain tajrih/takhrij atau jarah dalam pengertian bahasa : melukai tubuh ataupun yang lain dengan menggunakan benda tajam, pisau, pedang dan sebagainya, luka yang disebabkan karena pisau dan sebagainya dinamakan jurh. Dan di artikan pula jarah dengan memawkai dan menistai, baik dimuka ataupun dibelakang.
Dari sudut pendekatan kebahasaan ini, kata takhrij juga memiliki beberapa arti, yaitu pertama, berarti al-istinbath ( mengeluarkan dari sumbernya ). Kedua berarti at-tadrib (latihan) ketiga berarti at-taujih (pengarahan, menjelaskan duduk persoalan).
Pengertian Secara Terminologis

Para ulama ahli hadis dalam hal ini mengemukakan beberapa definisi, seperti di
bawah ini :
Menurut satu definisi, arti takhrij sama dengan Al-ikhraj yaitu Ibraz Al-Hadits li an- nas bidzikri mahrajih (mengungkapkan atau mengeluarkan hadits kepada orang lain dengan menyebutkan para perawi yang berada dalam rangkaian sanadnya sebagai yang mengelaurkan hadits). Misalnya dikatakan : hadza hadits akhrajahu al-bukhari atau kharrajahu al-bukhari ( hadist ini dikeluarkan oleh al-bukhari). Arti takhrij menurut definisi ini banyak dipakai oleh para ulama dalam mengutip atau menyebutkan suatu hadis.

Menurut definisi berikutnya, di sebutkan bahwa kata takhrij berarti ikhraj al-ahadits min buthuni al-kutub wa riwayatuh ( mengeluarkan sejumlah hadis dari kandungan kitab- kitabnya dan meriwayatkannya kembali ). Pengertian ini diantaranya dikemukakan oleh as- sakhawi, ia menambahkan bahwa orang yang mengeluarkan hadis tersebut kemudian meriwayatkannya atas namanya sendiri atau atas nama guru-gurunya, serta menyandarkannya kepada penulis kitab yang dikutipnya.
Menurut definisi lainnya, kata takhrij berarti ad-dalalah ala mashadir al-hadits al- ashliyah wa azzuhu ilaihi ( petunjuk yang menjelaskan kepada sumber-sumber asal hadis ). Di sini dijelaskan siapa-siapa yang menjadi para perawi dan mudawwin yang menyusun hadis tersebut dalam suatu kitab.
Menurut mahmud ath-thahhan, definisi yang disebut ketiga ini yang banyak dipakai dan terkenal pada kalangan ulama ahli hadis. Berdasarkan definisi ini, ia menyabutkan pengertian takhrij sebagai berikut: “petunjuk tentang tempat atau letak hadis pada sumber
aslinya, yang diriwayatkan dengan menyebutkan sanadnya, kemudian dijelaskan martabat
atau kedudukannya manakala diperlukan ".
Berdasarkan definisi di atas, maka me-ntakhrij, berarti melakukan dua hal, yaitu yang pertama berusaha menemukan para penulis hadis itu sendiri dengan rangkaian silsilah sanad- nya dan menunjukannya pada karya-karya mereka, seperti kata-kata akhrajahuh al-baihaqi, akhrajahu al-thabrani fi mu’jamih atau akhrajahu ahmad fi musnadih.
Penyebutan sumber-sumber hadis dalam definisi di atas, bisa dengan menyebutkan sumber utama atau kitab-kitab induknya, seperti kitab-kitab yang termasuk pada kutub as- sittah; atau sunber-sumber yang telah diolah oleh para pengarang berikutnya yang berusaha menyusun dan menggabungkan antara kitab-kitab utama tersebut, seperti kitab al-jami’baina as-shahihain oleh al-humaidi; atau sumber-sumber yang berusaha menghimpun kitab-kitab hadis dalam masalah-masalah atau pembahasan khusus, seperti masalah fiqih, tafsir atau tarikh.
Kedua, memnberikan penilaian kualitas hadis apakah hadis itu sahih atau tidak. Penilaian ini dilakukan andai kata diperlukan. Artinya, bahwa penilaian kualitas suatu hadis dalam men-takhrij tidak selalu harus dilakukan. Kegaitan ini hanya melengkapi kegiatan takhrij tersebut sebab, dengan diketahui dari mana hadis itu diperoleh sepintas dapat dilihat sejauh mana kaulitasnya.

B. Tujuan Dan Kegunaan Men-Takhrij Hadis
Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang perlu dipelajari dan dikuasai. Sebab di dalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui dari mana sumber hadis itu berasal. Selain itu, di dalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadis.
Tujuan pokok men-tahrij hadis adalah untuk mengetahui sumber asal hadis yang
ditakhrij. Tujuan lainnya, untuk mengetahui keadaan hadis tersebut yang berkaitan dengan
maqbuldan mardud-nya.
Sedang kegunaan takhrij ini, antara lain :
1. Dapat mengetahui keadaan hadis sebagai mana yang dikehendaki atau yang ingin di
capai pada tujuan pokok di atas;
2. Dapat mengetahui keadaan sanad hadis dan silsilahnya berapapun banyaknya, apakah
sanad-sanad itu bersambung atau tidak;
3.Dapat meningkatkan kualitas suatu hadis dariDha’if menjadiHasan, karena
ditemukannyaSyahid atauMu’tabi;
4.Dapat mengetahui bagaimana pandangan para ulama terhadafkeshahihan suatu
hadis;
5.Dapat membedakan mana paraperaw i yang ditinggalkan atau yang dipakai;
6.Dapat menetapkan sesuatu hadis yang dipandangMubham menjadi tidakMubham
karena ditemukannya beberapa jalan Sanad, atau sebaliknya;
7.Dapat menetapkanMuttas hil kepada hadis yang diriwayatkan dengan menggunakan
Adat At-Tahammul Wa Al-a-da’ (kata-kata yang dipakai dalam penerimaan dan
periayatan hadis) dengan an’anah (kata-kata an/dari);
8.Dapat memastikan identitas para perawi, baik berkaitan dengankun-yah (julukan),
laqab (gelar), atau nasab (keturunan), dengan nama yang jelas.
C. Sepintas Tentang Sejarah Takhrij

Kegiatan men-takhrij hadis muncul dan diperlukan pada masa ulama Mutaakhirin. Sedang sebelumnya, hala ini tidak pernah dibicarakan dan diperlukan. Kebiasaan ulama Mutaqaddimin menurut Al Iraqi, dalam mengutip hadis-hadisnya tidak pernah membicarakan dan menjelaskan darimana hadis itu dikeluarkan, serta bagaimana kualitas hadis-hadis tersebut, sampai kemudian datang An-nawawi yang melakukan hal itu.
Ulama yang pertama kali melakukan takhrij menurut Mahmud Ath-thahhan ini, ialah Al-khatib Al-bagdadi (463 H). kemidian dilakukan pula oleh Muhammad bin musa al-hazimi (W.584 H) dengan karyanya Takhrij Ahadits Al-Muhadzdzab. Ia mentakhrij kitab fiqih syafi’iyah karya Abu Ishaq Asy-Syirazi. Ada juga ulama lainnya, seperti Abu Al-Qasim Al- Husaini dan Abu Al-Qasim Al-Mahrawani. Karya kedua ulama ini hanya berupa Mahthuthah (manuskrip) saja. Pada perkembangan selanjutnya, cukup banyak bermunculan kitab-kitab tersebut yang berupaya men-takhrij kitab-kiatab dalam berbagai disiplin ilmu agama.
Yang termasyhur di antara kitab-kitab tersebut, selain karya Muhammad bin Musa Al- Hazimi di atas, ialah kitab takhrij Ahadts Al-Mukhtashar Al-Kabir karya Muhammad bin Ahmad Abd Al-Hadi Al-Maqdisi (w. 744 H), Nashb ar-rayah li ahadits al-hidayah dan takhrij ahadits al-kasysyaf, keduanya karya Abdullah bin yusuf Al-Zaila’i(w. 762 H), dan Al-Badr Al-Munir fi Takhrij Al-Ahadits wa Al-Atsaral-Waqi’ah fi Syarh Al-Kabir karya Ibn Al- Mulaqqin (w. 804 H)
D. Cara Mentakhrij Hadis
Pada garis besarnya ada lima cara atau jalan untuk mentakhrij hadis, yaitu:
1.Melalui pengenalan nama sahabat perawi hadis;
2.Melalui pengenalan awal lafaz atau matan suatu hadis;
3.Melalui pengenalan kata-kata yang tidak banyak beredar atau dikenal dalam
pembicaraan, tetapi merupakan bagian dari matan hadis (letak kata-kata tersebut bisa
dimana saja, di awal, di tengah atau di akhir matan);
4.Melalui pengenalan topic yang terkandung dalam matan hadis; dan

5.Melalui pengamatan tertentu terhadap apa yang terdapat dalam suatu hadis, baik
matan atau sanadnya.
1. Mentakhrij Melalui Pengenalan Nama Sahabat Perawi
Cara men-takhrij seperti ini hanya bisa dilakukan apabila telah diketahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut. Apabila nama sahabat diketahui maka pentakhrij- an dapat dilakukan dengan bantuan tiga macam kitab hadis, yaitu al-masanid (kitab musnad), al-ma’ajim (kitab-kitab mu’jam), dan kutub al-athraf.
a. Al-Masanid (kitab-kitab musnad)
Al-masanid adalah jamak dari al-musnad yaitu semacam kitab yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkannya. Susunan nama-nama sahabat dalam kitab-kitab musnad tidaklah sama ada yang disusun secara alfabetis,dan ada yang disusun berdasarkan kelompok urutan waktu masuk islam atau keutamaan sahabat, di samping ada pula yang disusun berdasarkan keutamaan kabilah atau kota.
Hasil karya berupa kitab musnad ini cukup banyak. Ath-thahhan menyebutkan sebanyak sepuluh kitab yang diantaranya ialah musnad karya ahmad bin hanbal, musnad karya abu bakr Abdullah bin az-zubair al-humaidi, dan musnad karya abu daud sulaiman bin daud ath-thayalisi. Dari kitab-kitab yang disebutkannya dua di antaranya dibicarakan ath- thahhan lebih lanjut yaitu musnad ahmad bin hanbal dan musnad abu bakr al-humaidi.
b.Al-Ma’ajim (kitab-kitab Al-Mu’jam)
Al-ma’ajim atau kitab-kitab Al-Mu’jam menurut istilah ulama ahli hadis adalah kitab- kitab hadis yang disusun berdasarkan musnad sahabat, guru (suyukh), atau negeri-negeri tertentu. Diantara kitab Mu’jam yang terkenal ialah al-Mu’jam al-Kabi’r oleh abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani (w. 360 H) yang memuat sekitar 60,000 buah hadis. Selain itu, al-Mu’jam al-Ausath, yang berisi sekitar 30,000 buah hadis, dengan nama guru-

gurunya sebanayak 2000 orang, al-Mu’jam as-Shagir, yang memuat 1000 buah hadis, dan al-
Mu’jam Ash-Shahabah karya Abu Ya’la Ahmad bin Ali al-Maushuli (w.307 H).
c. Kitab-Kitab Al-Athraf
Kata al-athraf jamak dari ath-tharf (sisi atau bagian). Maka kata tharf al-hadits, berarti bagian dari matan yang menunjukan sisanya. Seperti kata kullukum ra’in, atau kata bunia al- islam ‘ala khamsin. Kalimat yang pertama merupakan bagian atau potongan dari hadis yang menjelaskan tentang kepemimpinan seseorang, seorang imam, atau seorang wanita. Kalimat yang kedua, merupakan potongan dari hadis tentang dasar-dasar islam.
Pada kitab-kitab seperti ini, penyusun menyebutkan sebagian dari matan hadis dengan menyebutkan sanad-nya, baik secara lengkap atau tidak. Kitab-kitab athraf pada umumnya disusun berdasarkan nama-nama sahabat secara alfabetis, di samping ada juga yang menyusunnya berdasarkan urutan alfabetis berdasarkan kata-kata awal dari matan hadisnya.
Di antara kitab-kitab athraf ialah:
Athraf as-shahihain karya abu mas’ud ibrahim bin Muhammad ad-dimasqi (w. 401
H).
Al-asyraf ‘ala ma’rifat al-athraf karya ibn ‘Asakir (w. 571 H)
Tuhfah al-Asyraf bi ‘Ma’rifat al-Athraf karya abu al-Hajjaj Yusuf Adurrahman al-
Mizzi (w.742 H).
Dzakhair Mawarits fi ad-Dalalah ‘ala Mawadhi’I al-hadits karya Abd al-Mugni an-
Nablusi (1050-1143).
Pada kitab-kitab yang terakhir ini menjadikan kutub as-sittah (dua kitab al-jami ‘ash-
shahih dan empat kitab as-sunan) dan al-muwaththa’ sebagai sumbernya.
2. Men-Takhrij Melalui Pengenalan Awal Lafazh Pada Matan
Dengan mengenal awal matan suatu hadis, maka hadis dapat di takhrij dengan menggunakan bantuan beberapa kitab hadis yang dapat menunjuk kepada sumber utamanya. Kitab-kitab dimaksud, ialah kitab-kitab yang memuat tentang hadis-hadis yang terkenal (al-

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad. M.Mudzakir. 2004. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1954. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang.
Ranuwijaya, Utang. 2001. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama.



Makalah Ulumul Qur'an


PEMBAHASAN

A.     Pengertian

A.     Tafsir
Secara bahasa : Kata Tafsir ( تفســير ) berasal dari kata فَسَّرَ yang mengandung arti: الإيضاح و البيان (Keterangan dan Penjelasan), yakni menyingkap dan menampak-kan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata الفســر berarti menyingkapkan sesuatu yang tertutup.[1]

Menurut istilah : Tafsir berarti Ilmu untuk mengetahui isi kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammas Saw. dan penjelasan maknanya serta pengambilan hukum dan makna-maknanya. Definisi lain tentang pengertian Tafsir dikemukakan oleh As-Shabuni, bahwa Tafsir adalah Ilmu yang membahas tentang Al-Quranul-Kariem dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia.[2]
B.     Ta’wil

Sedangkan pengertian Ta’wil, menurut sebagian ulama, sama dengan Tafsir. Namun ulama yang lain membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal.iv Sehubungan dengan itu, Asy-Syathibi mengharuskan adanya dua syarat untuk melakukan penta’wilan, yaitu: (1) Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya [tidak bertentangan dengan syara’/akal sehat], (2) Makna yang dipilih sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Alquran].
Dari pengertian kedua istilah ini dapat disimpulkan, bahwa Tafsir adalah penjelasan terhadap makna lahiriah dari ayat Alquran yang penegrtiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki oleh Allah,sedangkan ta’wil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbathkan dari ayat Alquran berdasarkan alasan-alasan tertentu, sehingga dapat ditetapkan suatu makna khusus untuk ayat tersebut.

B. Macam-Macam Tafsir berdasarkan sumbernya

1. Macam-Macam Tafsir berdasarkan Sumbernya.
Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi kepada dua bagian, tafsir Bil-Ma’tsur dan tafsir Bir-Ra’yi namun sebagian ulama ada yang menyebutkannya tiga bagian
1.      Tafsir Bil-Ma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Al-Qur’an atau As-Sunnah sebagai sumber penafsirannya.
2.      Tafsir Bir-Ra’yi adalah tafsir yang menggunakan rasio/ akal sebagai sumber penafsirannya
2. Macam-Macam Tafsir Berdasarkan Metodenya.
1.      Metode Tahlili
Yaitu metode panafsiran aya-ayat Al-Qur’an secara analitis dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat yang ditafsirkannya. Sesuai dengan bidang keahlian mufassir tersebut. Uraiannya, antara lain
menyangkut kosa kata, keserasian redaksi dan keindahan bahasanya, dan keterkaitan makna ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat yang sebelum dan sesudahnya dan sebab-sebab turunya ayat.
Penafsiran dengan metode ini dilakukan secara berurutan dan berkesenambungan terhadap ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutannya yang terdapat dalam mushaf usmani yang ada sekarang mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai dengan akhir surat An-Nas.
2.Metode Ijmaly ( Metode Global )
Yaitu penafsiran Al-Qur’an secara singkat dan Global, tanpa uraian panjang lebar, tapi mencangkup makna yang dikehendaki dalam ayat, dalam hal ini mufasssir hanya menjelaskan arti dalam maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan artinya sebatas makna yang terkait langsung, tanpa menyinggung hal-hal tidak terkait secara langsung dengan ayat.
3.      Metode Muqoran ( Metode Komfarasi / Perbandingan )
Tafsir dengan metode muqoron adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan cara mengambil sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian mengemukan pendapat para ulama tafsir dan membandingkan kecenderungan para ulama tersebut, kemkudian mengambil kesimpulan dari hasil perbandingannya.
d. Metode Maudhu’i ( Metode Tematik )
yaitu metode yang ditumpuhkan oleh seseorang mufassir untuk menjelaskan konsep Al-Qur’an tentang suatu masalah/ tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat al-qur’an yang membicarakan tema tersebut, kemudian masing-masing ayat tersebut dikaji secara komprehensif, mendalam dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi asbabunnuzulnya,munasabahnya, makna kosa katanya. Pendapat para mufassir tentang makna masing –masing ayat secara persial, serta aspek-aspek lainnya yang dipandang penting, ayat-ayat tersebut dipandang sebagai sutu kesatuan yang integralmembicarakan suatu tema ( maudhu ) tentu didukung oleh fakta dan data, dikaji secara ilmiah dan rasional Macam-macam tafsir berdasarkan carak penafsirannya.
Corak penafsiran yang dimaksud dalam hal ini adalah bidang keilmuan mewarnai suatu kitap tafsir. Hal ini terjadi karena mufassir memeliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya pun memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya.
Berdasarkan corak penafsirannya, kitap-kitap tafsir terbagi kepada beberapa macam :
1.Tafsir shufi/isyari, corak penafsiran ilmu tashawuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir isyari.
2.Tafsir fiqh , corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fiqhi. Dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak fiqhi ini termasuk tafsir Bil-Ma’tsur
3.      Tafsir falsafi, yaitu yang dalam penjelasanya menggunakan pendekatan filsafat, termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian ilmu kalam. Dari segi sumber panafsirannya tafsir bercorak filasafi ini termasuk tafsir Bir-Ra’yi.
4.      Tafsir ilmiy, yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dari segi sumber panafsirannya tafsir bercorak ilmiy ini juga termasuk tafsir Bil-Ra’yi
5.      Tafsir al-adap al-ijtima’i, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah social kemasyarakatan dari sumber penafsiran tafsir bercorak Al-Adab al-ijtima’i ini termasuk tafsiur Bir- Ra’yi
C.     .Ta'wil dalam Al-Qur'an
Kata ta'wil dalam Al-Qur'an disebutkan sebanyak 17 kali. Dari penggunaan kata ta'wil dalam ayat-ayat tersebut, dapat klasifikasikan menjadi tiga macam pengertian;
a.     Ta'wil li al-qaul (ta'wil perkataan)
Berarti makna sebuah perkataan dan hakekat yang dimaksudkan. Dalam bahasa Arab, perkataan terbagi menjadi dua; yaitu insya' dan khabar, bagian utama dari insya' adalah amr (perintah). Oleh karenanya, ta'wil dalam hal ini memiliki dua pengertian.
·        Ta'wil Amr yaitu dengan mengerjakan apa yang diperintahkan, contohnya hadith riwayat Aisyah Radhiyallah 'anha seperti yang telah disebutkan di atas.
·        Ta'wil Ikhbar yaitu terjadinya suatu peristiwa sebagaimana yang dikabarkan, seperti firman Allah QS. Al-A'raf:53

‘’Allah mengabarkan akan datangnya hari kiamat, sedangkan manusia menunggu ta'wil (terjadinya) yang dikabarkan Al-Qur'an.
b.     Ta'wil li al-fi'l (ta'wil perbuatan)
Seperti apa yang dikatakan oleh sahabat Nabi Musa 'Alaihissalam setelah melubangi perahu tanpa seizin pemiliknya, membunuh seorang anak, dan menegakkan kembali bangunan roboh, dalam QS. Al-Kahfi: 82
c.     Ta'wil li ar-ru'ya (ta'wil mimpi)
Ta'wil li ar-ru'ya atau ta'wil al-ahadith (ta'wil mimpi), seperti perkatan Nabi Ya'qub kepada putranya Nabi Yusuf 'Alaihimassalam dalam QS. Yusuf : 6 dan sebaliknya pada ayat: 100


D.     Perbedaan Tafsir dengan Ta’wil.
Abu ubaidan dan sekelompok ulama berpendapat bahwa tafsir dan ta’wil adalah sama kata Al-Maturidy tafsir adalah menetapkan apa yang dikehendaki oleh ayat ( lapad ) dan dengan sungguh-sungguh menetapkan, demikianlah yang dikehendaki Allah, maka ada dalil yang membenarkan penetapan itu, dipandanglah tafsir yang shohih. Kalau tidak dipandanglah tafsir yang berdasarkan pikiran yang tidak dibenarkan, ta’wil ialah mentarjihkan salah satu makna yang mungkin diterima ayat ( lapad ), yakini salah satu mutamilad, dengan tidak menyakini bahwa demikianlah yang sungguh-sungguh dikehendaki Allah
Dikatakan tafsir yaitu apa yang terjadi jelas didalam kitabullah atau jelas didalam hadist sohih, artinya itu jelas tampak, ta’wil yaitu apa yang disimpulkan oleh ulama, dalam hal nin ada yang mengatakan bahwa tafsir itu istilah apa yang bersangkut dengan ayat sedangkan ta’wil yaitu, pa yang bersangkutan dengan ilmu pengetahuan
Kesimpulannya tafsir adalah pengertian lahiriyah dari ayat Al-Qur’an yang pengertiannya secara tegas mengatakan maksud yang dikehendaki Allah… Azza wa jala… Sedangkan ta’wil pengertian-pengertian tersirat yang diistimbatkan ( diproses ) dari ayat-ayat Al-Qur’an yang memerlukan perenungan dan perkiraan, serta merupakan sarana pembuka tabir

E.     SYARAT-SYARAT MUFASSIR
            Dari penjelasan mengenai definisi tafsir di atas, kita mengetahui bahwa menafsirkan Al-Quran merupakan amanah berat. Oleh karena itu, tidak setiap orang memiliki otoritas untuk mengemban amanah tersebut. Siapa saja yang ingin menafsirkan Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adanya persyaratan ini merupakan suatu hal yang wajar dalam semua bidang ilmu. Dalam bidang kedokteran misalnya, seseorang tidak diperkenankan menangani pasien jika tidak menguasai ilmu kedokteran dengan baik. Bahkan jika ia nekad membuka praktek dan ternyata pasien malah bertambah sakit, ia akan dituduh melakukan malpraktek sehingga bisa dituntut ke pengadilan. Demikian juga halnya dengan tafsir Al-Quran, syarat yang ketat mutlak diperlukan agar tidak terjadi kesalahan atau kerancuan dalam penafsiran. Menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy, syarat mufassir secara umum terbagi menjadi dua: aspek pengetahuan dan aspek kepribadian.[3]

a.      Syarat Pertama: Aspek Pengetahuan
Aspek pengetahuan adalah syarat yang berkaitan dengan seperangkat ilmu yang membantu  dan memiliki urgensitas untuk menyingkap suatu hakikat. Tanpa seperangkat ilmu tersebut, seseorang tidak akan memiliki kapabilitas untuk menafsirkan Al-Quran karena tidak terpenuhi faktor-faktor yang menjamin dirinya dapat menyingkap suatu hakikat yang harus dijelaskan. Para ulama memberikan istilah untuk aspek pengetahuan ini dengan syarat-syarat seorang alim.
            Syarat yang berkaitan dengan aspek pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang mufassir ini dibagi menjadi dua, yaitu: syarat pengetahuan murni dan syarat manhajiyah (berkaitan dengan metode). Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân menyebutkan lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir.[4] Lima belas ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Bahasa Arab karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek.
      Oleh karena demikian urgennya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Quran, Mujahid bahkan mengatakan,
لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالمًا بلغات العرب‏.
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam Kitâbullâh apabila ia tidak mengetahui bahasa Arab.”
2.      Nahwu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbedaan i’rab.
3.      Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui binâ’ (struktur) dan shîghah (tense) suatu kata.  
4.      Isytiqâq (derivasi) karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya (المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح‏).
5.      Al-Ma‘âni karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
6.      Al-Bayân karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.
7.      Al-Badî‘ karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.
      Ketiga ilmu di atas disebut ilmu balaghah yang merupakan ilmu yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir agar memiliki sense terhadap keindahan bahasa (i‘jâz) Al-Quran.
8.      Ilmu qirâ’ah karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’ lainnya.
9.      Ushûluddîn (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala. Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
10.  Ushul fikih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl (segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth. 
11.  Asbâbun Nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
12.  An-Nâsikh wa al-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
13.  Fikih.
14.  Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
15.  Ilmu muhibah, yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya.
      Dalam sebuah hadits disebutkan,
من عمل بما علم ورثه الله علم ما لم يعلم
“Siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan menganugerahinya ilmu yang belum ia ketahui.”    
      Ibnu Abid Dunya mengatakan, “Ilmu Al-Quran dan istinbâth darinya merupakan lautan yang tidak bertepi.”
            Ilmu-ilmu di atas merupakan alat bagi seorang mufassir. Seseorang tidak memiliki otoritas untuk menjadi mufassir kecuali dengan menguasai ilmu-ilmu ini. Siapa saja yang menafsirkan Al-Quran tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut, berarti ia menafsirkan dengan ra’yu (akal) yang dilarang. Namun apabila menafsirkan dengan menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka ia tidak menafsirkan dengan ra’yu (akal) yang dilarang.
            Adapun bagi seorang mufassir kontemporer, menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy[5], maka ia harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan selain lima belas ilmu di atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah: 
1.      Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud universalitas Islam. 
2.      Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap problematika kontemporer. Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam menyadarkan umat terhadap hakikat Islam beserta keistimewaan pemikiran dan peradabannya.    
3.      Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.

            Selain harus menguasai ilmu-ilmu di atas, seorang mufassir harus memperhatikan manhaj yang ditempuh dalam menafsirkan Al-Quran. Imam Jalaluddin As-Suyuthy mengatakan, “Siapa yang ingin menafsirkan Al-Quran yang mulia maka pertama kali ia harus mencari tafsirnya dari Al-Quran. Ayat yang bermakna global pada suatu tempat ditafsirkan dengan ayat pada tempat lain dan ayat yang ringkas pada suatu tempat diperluas penjelasannya dengan ayat pada tempat lainnya. Apabila tidak menemukannya, maka ia harus mencarinya dari As-Sunnah karena ia (As-Sunnah) merupakan penjelas bagi Al-Quran. Apabila tidak menemukannya dari As-Sunnah, maka ia harus mengembalikannya kepada pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui penafsiran Al-Quran. Sebab, merekalah yang menyaksikan konteks dan kondisi pada saat turunnya ayat. Selain itu, mereka juga diberi kekhususan berupa pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal yang shalih. Ketika terjadi kontradiksi antarpendapat para sahabat, maka harus dikembalikan kepada pendapat yang paling kuat dalilnya. Misalnya perbedaan pendapat mereka mengenai makna huruf-huruf hijâ’ (alphabet), maka harus dikembalikan pada pendapat orang yang mengatakan, ‘Maknanya adalah qasam (sumpah)’.”[6]
            Manhaj (metode) seperti yang dikemukakan oleh Imam As-Suyuthy di atas di kalangan para ulama dikenal dengan istilah tafsîr bil ma’tsûr. Manhaj ini yang pertama kali harus ditempuh oleh seorang mufassir sebelum ia menafsirkan dengan ra’yu sebatas yang diperbolehkan. Manhaj tafsîr bil ma’tsûr tersebut akan dijelaskan sekilas di bawah ini.

1.      Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran
            Ayat Al-Quran terkadang disebutkan secara global dan ditafsirkan secara rinci pada ayat lain. Demikian juga, ayat yang ringkas ditafsirkan secara lusa pada ayat lain. Contoh penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran adalah firman Allah ta‘ala dalam surat Al-Fatihah: 6-7.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
            Orang-orang yang dianugerahi nikmat kepada mereka ditafsirkan dengan firman Allah ta‘ala,
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa’: 69)
            Contoh lainnya adalah firman Allah,
فَتَلَقَّى ءَادَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah: 37)
            Beberapa kalimat dalam ayat ini ditafsirkan dalam ayat lainnya, yaitu firman Allah ta‘ala,
قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi’.” (QS Al-A‘raf: 23)

F.      ADAB-ADAB MUFASSIR.

Beberapa adab yang baik juga telah ditetapkan ke atas para Mufassir membolehkan mereka mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, antaranya:
1. Niat dan tujuan yang baik, kerana setiap amal perbuatan bergantung kepada niat. Orang-orang yang melibatkan diri dalam pentafsiran Al-Qur’an perlu memiliki adab ini dan perlu menjauhkan diri daripada tujuan-tujuan duniawi yang akan mengheret mangsanya ke arah kehinaan.
Daripada Amiril Mukminin Abu Hafs Umar Ibn Khattab r.a., katanya "Aku dengar Rasulullah s.a.w. bersabda, hanya segala amal itu dengan niat dan hanya bagi setiap orang apa yang dia niatkan. Maka sesiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya. Dan sesiapa hijrahnya kepada dunia yang akan diperolehinya atau perempuan yang ingin dinikahinya,maka hijrahnya kepada akan yang ia inginkan."(Riwayat Bukhari dan Muslim)

2. Berakhlak mulia kerana mufassir adalah bagaikan seorang pendidik yang didikannya tidak akan mempengaruhi jiwa seseorang selama ia tidak menjadi role model kepada masyarakat meneruskan budi pekerti yang mulia.
Akhlak yang baik dan akhlak yang buruk, merupakan dua jenis tingkahlaku yang berlawanan dan terpancar daripada dua sistem nilai yang berbeza. Kedua-duanya memberi kesan secara langsung kepada kualiti individu dan masyarakat. lndividu dan masyarakat yang dikuasai dan dianggotai oleh nilai-nilai dan akhlak yang baik akan melahirkan individu dan masyarakat yang sejahtera. Begitulah sebaliknya jika individu dan masyarakat yang dikuasai oleh nilai-nilai dan tingkahlaku yang buruk, akan porak peranda dan kacau bilau. Masyarakat kacau bilau, tidak mungkin dapat membantu tamadun yang murni dan luhur.
Sejarah membuktikan bahawa sesebuah masyarakat itu yang inginkan kejayaan bermula daripada pembinaan sistem nilai yahg kukuh yang dipengaruhi oleh unsur-unsur kebaikan yang terpancar daripada aqidah yang benar. Masyarakat itu runtuh dan tamadunnya hancur disebabkan keruntuhan nilai-nilai dan akhlak yang terbentuk daripadanya. Justeru itu, akhlak mempunyai peranan yang penting di dalam kehidupan dan dalam memelihara kemuliaan insan serta keluhurannya. Martabat manusia akan menurun setaraf haiwan sekiranya akhlak runtuh dan nilai-nilai murni tidak dihormati dan dihayati. Oleh kerana itu Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud:

"Sesungguhnya aku diutus untuk melengkapkan akhlak yang mulia.” (Riwayat al-Baihaqi)
3. Taat dan beramal kerana sesuatu ilmu akan mudah diterima oleh orang-orang yang mempraktikannya berbanding dengan orang-orang yang hanya memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi tetapi tidak beramal dengannya. Tingkah laku yang mulia hasil daripada ilmu pengetahuan dan amalannya akan menjadikan seseorang mufassir sebagai sumber inspirasi yang baik kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah-masalah agama sebagaimana yang disarankan olehnya.
“Jika mereka beramal dengan apa yang diturunkan oleh Allah nescaya Dia menjamin rezeki mereka dengan menurunkan hujan, hasil bumi yang berkat kepada mereka sebagai kurniaan Allah, sebagaimana firman-Nya kepada orang-orang yang beriman yang bermaksud: "Kalaulah penduduk negeri itu beriman dan bertakwa nescaya Kami bukakan kepada mereka keberkatan yang datang dari langit dan bumi." (Surah al-Anfal: 96)

4. Berjiwa mulia, kerana seseorang yang mempunyai pengetahuan yang tinggi perlu menjauhkan diri daripada perkara-perkara remeh dan tidak pula mengharapkan pangkat dan penghormatan manusia.
Al-Qur`an mengkhabarkan kepada kita bahawa manusia beriman pada kenyataannya adalah orang-orang yang sangat bermurah hati. Akan tetapi, konsep Al-Qur`an tentang akhlaq mulia agak berbeza dari yang secara umum ditemukan dalam masyarakat. Manusia mewarisi sifat santun dari keluarga mereka atau menyerapnya dari lingkungan masyarakat sekitar. Akan tetapi, pengertian ini berbeza dari satu strata ke strata lain. Wujud keluhuran budi yang berlandaskan nilai-nilai qur`ani, walau bagaimanapun, melebihi dan di atas nilai dari pemahaman mana pun, kerana ia tidak akan pernah berubah, baik oleh keadaan maupun manusia. Mereka yang menyerap unsur akhlaq mulia, sebagaimana pandangan Al-Qur`an, memandang setiap manusia sebagai hamba-hamba Allah, dan kerana itu memperlakukan mereka dengan segala kebaikan, walaupun tabiat mereka mungkin saja tidak sempurna. Orang-orang semacam ini menjauhi penyimpangan dan tingkah laku yang tidak patut, teguh dalam pendirian, bahwa berketetapan dalam kebaikan mendatangkan kasih sayang Allah, sebagaimana ditandaskan dalam sebuah hadis,

"Allah itu baik dan menyukai kebaikan dalam segala hal." (HR Bukhari dan Muslim)
5. Bersikap tawadu` dan lemah lembut kerana kesombongan ilmiah adalah dinding yang menghalangi seseorang yang berilmu daripada memanfaatkan ilmunya kepada dirinya sendiri dan juga orang lain.
Lawan dari sifat tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah mendefinisikan sombong dengan sabdanya:
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadis Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu).

6. Tegas dalam menyampaikan kebenaran kerana jihad yang paling utama ialah menyampaikan kebenaran di hadapan pemerintah yang zalim. Sebagai contoh kita lihatlah keteguhan dan ketegasan Ibnu Taimiyah dalam menyampaikan ajaran Islam ketika berada dalam cengkaman pemerintah yang zalim dan golongan-golongan lain yang banyak menentang dakwahnya:

“Pendapatnya itu menimbulkan polemik di kalangan ulama, termasukmereka yang tidak suka dengan Ibnu Taimiyah. Karena ketegasan sikapnya dankuatnya dalil-dalil naqli dan aqli yang dijadikannya sebagaihujjah(argument i), ia tak segan-segan melawan arus. Ulama yangtidak suka dengannya kemudian menyebutnya sebagai ahlul bid'ah dan pembuat kerosakan dalam syariat.
Ibnu Taimiyah juga banyak dikecam oleh ulama Syiah dan menyebutnya sebagaiorang yang tidak suka terhadap ahlul bayt (keturunan Rasul dari Fatimah RAdan Ali bin Abi Thalib RA). Ia juga banyak dikecam oleh para ulama wahabidengan menganggapnya sebagai seorang ulama yang merosakkan akidah Islam.Kerana dianggap berbahaya, termasuk oleh penguasa setempat, ia kemudiandizalimi dan dimasukkan ke dalam penjara. Di penjara, ia justeru merasakankedamaian, sebab lebih bebas mengungkapkan fikirannya danmengmbangkannya dalam tulisan-tulisan. Beberapa karyanya berasal dariidea-ideanya selama berada di dalam penjara.
Di penjara, ia juga banyak menyampaikan persoalan-persoalan keagamaan.Hingga akhirnya, banyak yang belajar kepadanya. Beberapa diantaranya, yang diputuskan bebas dan berhak keluar dari penjara, malahmenetap dan berguru kepadanya.
Ia wafat di dalam penjara *Qal'ah Dimasyqy* pada 20 Dzulhijah 728 H (1328M), dan disaksikan salah seorang muridnya, Ibnu al-Qayyim. BersamaNajamuddin At-Tufi, mereka dijuluki sebagai trio pemikir bebas. IbnuTaimiyah berada di dalam penjara selama 27 bulan (dua tahun tiga bulan)lebih beberapa hari.
Selama di penjara, Ia tidak pernah mahu menerima pemberian apa pun daripenguasa.
7. Mendahulukan orang-orang yang lebih utama daripada dirinya sendiri. Seseorang mufassir seharusnya tidak gugup untuk mentafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an di hadapan mufassir yang lebih pandai pada masa mereka masih hidup. Juga tidak wajar merendahkan mufassir lain setelah mereka meninggal dunia.
8. Menggaris dan mengemukakan langkah-langkah penafsiran secara ilmiah dan sistematik, seperti memulakannya dengan menyebut asbab al-nuzul, erti perkataan, menerangkan susunan perkataan, memberi penerangan kepada aspek-aspek balaghah dan i`rab yang mana penentuan makna bergantung kepadanya, menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan kehidupan sebenarnya yang dialami oleh umat manusia pada masa itu serta membuat kesimpulan dan menentukan hukum. Sebagai contoh:
“Sila kaji apa kata para imam, terutamanya imam-imam mazhab tentang larangan mereka dalam mengikut pendapat mereka, sekiranya ada terdapat pendapat-pendapat mereka yang tidak bertepatan dengan Al-Quran dan Sunnah. Pastinya, kenyataan-kenyataan yang telah dikeluarkan oleh imam-imam mazhab ini telah membuktikan bahawa mereka tidak mahu para pengikut pendapat mereka menjadi ta’sub terhadap pendapat-pendapat imam-imam ini. ketaksuban seperti ini boleh menyebabkan berlakunya penerimaan negatif terhadap pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh orang lain, meskipun pendapat-pendapat lain tersebut ternyata lebih kuat. Alangkah baiknya tahap kesedaran yang dimiliki oleh imam-imam cerdik pandai ini, bahawa dalam mengeluarkan pendapat, tidak semestinya pendapat mereka itu 100% betul. Kata-kata para imam ini juga membuktikan mereka sangat bertoleransi dalam menerima perbezaan pendapat; mereka tidak suka untuk menunjukkan pendapat mereka betul, mereka hanya mahukan pendapat yang paling kuat tanpa mengambil kira siapakah yang mengeluarkan pendapat tersebut”.






















DAFTAR PUSTAKA


Dr. ash-Shalih. Shubhi, Membahas Ilmu-ilmu Alquran (Penterjemah Tim Pustaka Firdaus)Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993

Dr. Khalil al-Qaththan .Manna’, Study Ilmu-ilmu Quran (Penterjemah Drs. Mudzkir AS.), Litera Antar Nusa, Bogor, 1992

Ahmad Bazawy .Adh-Dhawy,. Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuh.2009

Jalaluddin .As-Suyuthy,. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân. Bab Ma‘rifah Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbihi E-book. Diakses dari Mauqi‘ Umm Al-Kitâb li Al-Abhâts wa Ad-Dirâsât Al-Ilikturûniyah:.

Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu

Shalahuddin .Arqahwah,1987. Mukhtashar Al-Itqân. Fî ‘Ulûm Al-Qurân li As-Suyûthy. Beirut: Dâr An-Nafâis. Hal. 125









[1] Dr. Shubhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Alquran (Penterjemah Tim Pustaka Firdaus), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993

[2] Dr. Manna’ Khalil al-Qaththan, Study Ilmu-ilmu Quran (Penterjemah Drs. Mudzkir AS.), Litera Antar Nusa, Bogor, 1992

[3] Adh-Dhawy, Ahmad Bazawy. Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuh.2009
[4] As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân. Bab Ma‘rifah Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbihi E-book. Diakses dari Mauqi‘ Umm Al-Kitâb li Al-Abhâts wa Ad-Dirâsât Al-Ilikturûniyah:.
[5] Silakan lihat: Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu dalam
[6] . Arqahwah, Shalahuddin. 1987. Mukhtashar Al-Itqân. Fî ‘Ulûm Al-Qurân li As-Suyûthy. Beirut: Dâr An-Nafâis. Hal. 125